Thursday, October 11, 2007

KEMBALI KE FITRI, MASIH MUNGKINKAH?

Sahabat saya Muntaha yang sedang kuliah di International Islamic University Malaysia berbagi tulisan tentang keprihatinannya perbedaan hari raya dalam satu negara. Ulil amri menurut Pak Muntaha saat ini paling besar ya negara. Karena kita tidak memiliki pemimpin dunia. PBB bukanlah pemimpin yang memiliki kontrol atas dunia.
Di hampir semua negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masyarakatnya dapat menikmati kebahagiaan berhari raya bersama, bersatu padu dalam kebahagiaan; namun di Indonesia masyarakat untuk saat ini hanya dapat bermimpi untuk dapat merasakan indahnya kebersamaan dalam kebahagiaan.



Apa akar permasalahannya

Hari raya ‘Idul Fitri bukan seperti shalat, wudhu dan ibadah sejenisnya yang dapat dilakukan dengan leluasa oleh individu, ‘Idul Fitri adalah ibadah sosial, ibadah yang melibatkan semua elemen umat Islam, tak pandang bulu dari ormas dan jama’ah manapun mereka; Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, Masyumi, al-Irsyad, Syi’ah, Salafi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh; bahkan dari, Islam Jama’ah, Islam Liberal hingga Islam abangan; semuanya ada di Indonesia dan semuanya merasa perlu dan merasa memiliki ‘Idul Fitri; yang mana berjuta-juta umat Islam Indonesia banyak yang berafiliasi di dalam ormas-ormas tersebut, atau “dipaksa” oleh opini masyarakat untuk dimasukkan dalam organisasi dan jama’ah-jama’ah tersebut; dan perlu dicatat bahwa semua berdiri di atas nama Islam dan tentu semua menginginkan untuk menuju surga.

Nah, pada saat umat Islam Indonesia ingin mengadakan “hajatan akbar” berupa perayaan ‘Idul Fitri; ternyata ada di antara pemimpin-pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan/ulama’ dari kelompok-kelompok itu yang merasa paling punya wewenang dan ingin didengar suaranya untuk menentukan hari “H”nya ‘Idul Fitri; tentu dengan metode masing-masing, ada yang memakai hisab, ada pula yang menggunakan metode ru’yat, baik ru’yat lokal maupun yang lebih maju lagi ru’yat global. Yang pasti hilal (bulan sabit) tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan segala macam observasi tersebut, sebab bulan sabit itu satu dan dia mempersilahkan kepada umat Islam untuk meneliti dan mengobservasi dirinya, itu tidak penting bagi sang hilal. Toh meskipun pada tahun 2001 Muhammadiyah dan Persis yang menggunakan hisab hasilnya berbeda dalam menentukan ‘idul Fitri, dan juga tahun 2006 warga NU yang menggunakan ru’yat ternyata saling menyalahkan dan akhirnya “pecah” menjadi dua golongan; PBNU dan PWNU Jatim, seandainya hilal dapat mengungkapkan kesedihannya tentu dia sangat murka melihat dirinya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah menjadi penyebab umat Islam Indonesia berselisih dan berpecah belah. Di samping itu pihak-pihak yang menentukan ‘Idul Fitri bersikukuh bahwa pendapatnya adalah benar dan harus dipertahankan, kalau perlu sampai nafas terakhir; sebab ini masalah tanggung jawab sebagai pemimpin di hadapan “umatnya” dan di hadapan Allah kelak, ini adalah urusan surga dan neraka!

Ini semua mengindikasikan bahwa apapun metodologinya, dan sekuat apapun dalil syar’i yang dijadikan hujjah, metodologi apapun yang disepakati baik ru’yat saja maupun hisab, di negeri yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini perbedaan dalam menentukan ‘Idul Fitri peluang berbeda masih sangat terbuka lebar dan menganga.


Apa tujuan ‘Idul Fitri

Tujuan ‘Idul Fitri adalah untuk merayakan kebahagiaan, kebersamaan, dan saling menyatakan kebesaran rahmat dan nikmat Allah kepada antar sesama umat Islam khususnya dan juga menunjukkan kepada alam semesta bahwa umat Islam itu meskipun sekarang ini tercabik-cabik, tapi masih ada harapan dan motivasi untuk meraih kegemilangan di masa mendatang.

‘Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah; di antara fitrah umat Islam, meskipun dibungkus dengan berbagai macam ormas, sebenarnya fitrahnya masih tetap ingin bersatu padu dalam ‘Idul Fitri; melupakan semua bungkusnya, bahkan fitrah ingin saling memaafkan dan saling melupakan kesalahan masa lalu dengan saling bermaaf-maafan; inilah fitrah masyarakat Indonesia. Fitrah yang harus dicarikan wadah untuyk mempersatukannya; dan seharusnya peluang itu ada di depan mata; bersama-sama berhari raya ‘Idul Fitri.

Syahdan di negeri ini; satu rumah, bahkan penulis mengatahui ada sepasang suami istri yang sama-sama taat beragama; ternyata pilihan ‘Idul Fitrinya berbeda, dan menjadi gunjingan banyak orang di hari yang seharusnya tidak perlu ada desas-desus tidak sehat tersebut, adakah ini yang diharapkan Islam?, ketika di malam hari juga mungkin ada yang mendengar satu mesjid menyerukan dengan suara lantang agar masyarakat bangun bersahur, tapi di masjid yang “berseberangan jalan” ada sahutan dengan mengumandangkan laungan menggema takbir ‘Idul Fitri; yang membawa pesan sangat jelas, jangan kalian bersahur, kalian tidak benar, yang benar adalah kami yang sedang bertakbir, dan begitulah sebaliknya. Andaikata baginda Rasulullah SAW masih ada; mungkinkah beliau berbahagia dengan kondisi umatnya seperti saat ini. Namun begitu semua yang saling berselisih tersebut beranggapan bahwa dialah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi SAW.

Dalam ‘Idul Fitri disunnahkah untuk mengucapkan salam dan do’a “Taqqbbalallahu minna wa minkum”, sebagai ungkapan kemenangan, kemenagan umat Islam, kemenangan apakah yang akan diraih dari perpecahan umat, ‘Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen persatuan untuk menuju kemengan, namun di Indonesia menjadi peletakan batu pertama untuk saling terus berpecah belah. Bila ‘Idul Fitri berbeda dan dalam satu lingkungan sosial; dapat dipastikan bahwa ketidaknyamanan pasti akan terjadi; meskipun ada senyum, senyuman itu hanya sampai di tenggorokan, belum sampai masuk ke hati. Toleransi yang dipaksakan oleh pengambil kebijakan dengan alasan “masyarakat kita sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan”, “ini masalah khilafiyah, perbedaan dalam agama itu rahmat”. Benarkah, perbedaan ‘Idul Fitri dalam satu rumah, kantor dan RT rahmat?. Mungkin bibir dapat mengatakan rahmat; namun hati nurani yang masih dalam fitrah akan menolaknya, meskipun sudah berulang kali untuk dihibur dengan berbagai macam alasan dan dalil.

Mengapa hanya dalil hisab dan ru’yah yang selalu ditonjolkan; dan masyarakat juga sudah yakin. Bahwa tokoh-tokoh ormas pemegang kebijakan sudah “final dan puas” dengan dalil masing-masing, bukankah Islam itu luas; masih ada dalil-dalil lain, seperti maqashid as-syari’ah, yang jelas berpihak kepada maslahat (kebaikan) dan maslahat dalam ‘Idul Fitri hanya dapat ditemui jika dilakukan secara bersama-sama. Kebersamaan ‘Idul Fitri. Itulah yang jelas kita dapatkan dari wejangan tuntunan umat Islam, kanjeng Nabi SAW, “Hari berpuasa adalah hari kamu semua berpuasa hari raya adalah di mana kamu semua berhari raya“. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, ad-Daruquthni, dan al-Bayhaqi.

Ternyata pemegang kebijakan terjebak dengan teknis observasi dan sama sekali kurang memperhatikan dan menitik beratkan tujuan utama disyari’atkannya ‘Idul Fitri.


Diperlukan kedewasaan dan hati yang lapang

Bagi warga Indonesia yang merasakan hidup di luar negeri pada saat ‘idul Fitri mungkin merasa sedih karena jauh dari keluarga, famili dan tentu ini adalah momen yang sangat bersejarah dan penuh arti dalam hidup seseorang; bahkan juga di Indonesia sendiri; fenomena mudik menunjukkan antusias masyarakat untuk “bersama” berbahagia bersama keluarga; namun kasihan umat Islam Indonesia, kebersamaan itu akhirnya kandas di tangan qarar, fatwa, tarjih dan istilah-istilah lain yang dipakai oleh tokoh-tokoh ormas Islam; Namun jika melihat kenyataan bahwa di kampung halaman hari raya berbeda-beda sampai selama 3 hari, rasanya rasa kangen dan kerinduan jadi sirna, atau bahkan menjadi phobi dengan realita umat Islam Indonesia, dan bagi yang berada di luar negeri menjadi iri dengan negara Islam lain dan putus asa melihat problematika bangsa Indonesia dengan muslim mayoritasnya.

Di semua negara Islam, perbedaan ‘Idul Fitri itu hampir tidak terjadi atau sangat jarang terjadi; di semua negara Teluk, di semua Negara Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah, dan di negara-negara ASEAN (tentu saja kecuali Republik Indonesia) semua rakyatnya dapat merasakan kebersamaan dan kebahagiaan ‘Idul Fitri, sebab pemimpin-pemimpin dan ilmuwan-ilmuwan/ulama’ di negeri-negeri tersebut jauh lebih melihat bahwa ‘Idul Fitri milik umat Islam seluruhnya, bukan milik kelompok dan golongan. Indonesia dengan berjuta-juta penduduk memang dapat dibanggakan dengan banyaknya ulama’ dan ilmuwan-ilmuwannya; baik yang ahli dalam bidang ru’yah maupun hisab/astronomi tidak terhitung banyaknya. Tapi hal serupa juga kita dapatkan dengan melimpah ruah di Mesir, di Timur Tengah, di Afrika Utara, di Asia Tengah dan juga di semua Negara ASEAN; negara-negara tersebut juga punya ulama-ulama besarnya yang bahkan mendunia yang negara kita saat ini belum mampu melahirkannya, dan tentu negara-negara tersebut juga punya pakar-pakar falak dan ahli ru’yah yang mungkin lebih senior dari Indonesia, tapi di manakah suara dan pendapat ulama’-ulama’ negeri-negeri tersebut ketika menentukan ‘Idul Fitri? Nyaris tak terdengar, dan bahkan tidak muncul. Dikarenakan mereka menyadari sepenuhnya bahwa urusan “mengumumkan” jatuhnya hari raya ‘Idul Fitri bukan ditangan individu atau kelompok; tapi di tangan ulil amri, para ulama’ dan ilmuan tugasnya adalah memberikan masukan yang akurat dan data valid kepada ulil amri tentang observasi hilal; itulah tanggung jawab mereka; dan bila terjadi kesimpangsiuran atau bila adu dalil tidak terelakkan di antara kubu-kubu yang ada, maka surat An-Nisa’: 59 difungsikan dan ditaati: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan kepada ulil amri dari kalian“. Kubu-kubu yang berselisih tentunya sudah “puas” dan nyaman dengan dalil-dalil yang dipegang; kalau sudah begitu maka ulil amri harus dimainkan perannya atau memainkan perannya untuk menghindarkan perselisihan; itu semua harus dilakukan sebab ritual ‘Idul Fitri bukan ritual individu dan kelompok, tapi ritual yang melibatkan umat Islam. Dan dalam kaidah fatwa diterangkan bahwa fatwa harus meilhat i’tibar al-maalaat (melihat efek dan akibat yang akan ditimbulkan), dan perbedaan ‘Idul Fitri jelas berakibat tidak sehat di masyarakat. Kemudian para ulama juga sudah sepakat bahwa agama ini datang untuk mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi semua elemen masyarakat; dan semua hukum Islam berpihak kepada maslahat dan menghindari madharat (kerusakan), dan jelas bahwa beda ‘Idul Fitri akan mencetuskan banyak problem (mafsadah/madharrat); baik ritual maupun sosial. Maka semua keputusan dari pemegang kebijakan dalam masalah ‘Idul Fitri seyogyanya melihat realita di masyarakat sebagai petimbangan besar sebelum mencetuskan keputusan untuk menentukan jatuhnya ‘Idul Fitri.


Langkah strategis yang harus ditempuh

Untuk keluar dari khilaf dan polemik tahunan ini kiranya harus ada langkah untuk menyelesaikannya; ormas-ormas harus dengan “legowo” menyerahkan kebijakan mengumumkan ‘Idul Fitri kepada ulil amri; mengingat ‘Idul Fitri milik bersama. Tentu ulil amri tersebut harus bersikap netral, fair dan mengakomodasi semua tokoh, ulama, dan ilmuan dari semua kubu; kemudian hasil dari ijtihad jama’i (kolektif) tersebut harus disepakati dan hanya boleh diumumkan oleh ulil amri. Yang menjadi usulan penting dalam forum pertemuan antar ormas dan jama’ah-jama’ah tersebut adalah jangan sampai semua yang terlibat tersebut terjebak dalam adu dalil; siapa sebenarnya ulil amri di Indonesia?

Kalau polemik dalam masalah ini terjadi, tidak ada gunanya masyarakat merayakan kemerdekaan RI yang ke 62 bulan Agustus lalu. Menurut penulis, yang layak menjadi ulil amri di sini adalah Departemen Agama, atau barangkali ada kelompok-kelompok yang merasa perlu menjadi ulil amri di negeri ini?. Bisa saja terjadi.
Sebenarnya mencari titik temu persamaan itu bisa terjadi, dengan syarat seperti yang dikatakan Menteri Agama, “kalau mau”. Benar, kalau mau, Allah SWT memberikan tip bagi pasangan suami istri yang sedang berselisih untuk bersatu kembali dengan berita: “Dan jika kalian khawatir terjadi peceraian di antara mereka (suami istri) maka utuslah hakam (hakim penengah) dari keluarga suami, dan juga dari keluarga istri. Kalau mereka berdua menginginkan islah (berbaik-baikan) kembali, maka Allah akan memberikan taufiq di antara mereka“. (An-Nisa’: 35), tapi kalau memang kubu-kubu yang berselisih sudah enggan untuk bersatu-padu dari manakah ada jalan pertemuan meskipun sudah ada penengah?.

Mudah-mudahan, ‘Idul Fitri bersama akan dapat kita rasakan nantinya di alam nyata Republik Indonesia, meskipun umat Islam Indonesia dari semenjak tahun 1990-an terpaksa harus berlebaran bersama di Republik Mimpi.

Taqabbalallhu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin.
Walahu a’lam.



Muntaha Artalim Zaim
International Islamic University Malaysia
1 Oktober 2007, 19 Ramadhan 1428.

Monday, August 06, 2007

SIFAT WUDHU RASULULLAH SAW

Sholat adalah tiang agama, barang siapa yg meninggalkan sholat dengan sengaja maka sama halnya dengan merobohkan agama islam itu sendiri, naudzubillahi min dzalik...

Pernahkah kita benar2 mengetahui bagaimana sebenarnya sholat yg dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, apakah sholat yg kita lakukan selama ini sudah sesuai dengan ajaran dan contoh dari beliau?

Sebelum aku membagi sedikit yg sudah kudapatkan dari beberapa sumber baik dari teman2 ataupun artikel2 tentang sholat, aku ingin memulainya dari tata cara wudhu yg dicontohkan oleh rasulullah SAW yg kudapatkan dari kiriman seorang teman dan dilengkapi dengan hadist2 yg shahih dan jelas nashnya (lihat rujukannya jika ingin membuktikannya sendiri).


SIFAT WUDHU’ NABI Shallallahu ‘alaihi wa Salam

Secara syri’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah swt. Allah memerintahkan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki (Al-Maaidah:6).
Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu’ (HSR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).
Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat. (HSR. Abu Dawud, no. 60).
Utsman bin Affan ra berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah saw, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HSR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).
Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah saw dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah saw melakukan wudhu’:

1. Memulai wudhu’ dengan niat.
Niat artinya menyengaha dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah swt dan mengikuti perintah Rasul-Nya saw.
Ibnu Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati. (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Rasulullah saw menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya… (HSR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).

2. Tasmiyah (membaca bismillah)
Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:
Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah) (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).
Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah saw bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HSR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)
Dengan ucapan Rasulullah saw: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.

3. Mencuci kedua telapak tangan
Bahwa Rasulullah saw mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah saw juga membolehkan mengambil air dari bejancdengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)


4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung
Yaitu mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini dengan tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).
Demikian pula Rasulullah saw menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )

5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot
Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:
”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa cara Nabi saw membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)
Setalah Nabi saw membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah swt. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).

6. Membasuh kedua tangan sampai siku
Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah swt berfirman:
”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maaidah: 6)
Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)
Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)

7. Mengusap kepada, telinga dan sorban
Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah swt memerintahkan:
”Dan usaplah kepala-kepala kalian…” (Al-Maidah: 6).
Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)
Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.” (HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi saw) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:
Bahwasanya Nabi saw mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)
Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra : “Aku melihat Nabi saw mengusap kepalanya satu kali. (lihat _Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah melihat Rasulullah saw berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)
Rasulullah saw juga mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.
Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena:
Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.
Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.
Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).

8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki
Allah swt berfirman: ”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (Al-Maidah: 6)
Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki. (HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)
Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”
Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.
Rasulullah saw bersabda: “…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HSR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)

9. Tertib
Semua tatacara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]
Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]

10. Berdoa
Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi saw:
“Asyahdu anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal mutathohhiriin (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)
Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi saw.
Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.

Maraji’:
Sifat Wudhu’ Nabi saw, Syaikh Fadh asy Syuwaib.
At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari
Al-Hujjah Risalah No: 27 / Thn IV / 1422H


Selanjutnya aku akan membagi artikel tentang Sifat Sholat Nabi saw.

Semoga bermanfaat.

Wednesday, August 01, 2007

BOSIET daaahhhhh!

Basic Offshore Safety Induction and Emergency Training aka BOSIET adalah syarat mutlak yg diperlukan oleh semua orang yg akan bekerja di lepas pantai. Sertifikasi dari training ini juga harus disahkan oleh badan yg katanya tidak komersil bernama OPITO (Offshore Petroleum Industry Training Organization). Kenyataannya seh biaya yg dibutuhkan utk paket 3 hari training ini adalah sekitar 4 jutaan :-).

Paket 3 hari training ini terdiri dari modul dan pelatihan :
1. Safety Induction (theory)
2. Sea Survival (theory and practical)
3. First Aid (theory and practical)
4. Life Boat (theory and practical)
5. Helicopter Underwater Escape Torch eeehh Training :-) aka HUET (theory and practical)



Setelah menempuh 1 jam 30 menit dari pelabuhan Batam Centre Indonesia, sampailah ke pelabuhan Stulang Laut- Johor Bahru Malaysia. Selepas dari pertanyaan 'ncek Imigrasi' kami langsung menuju The ZEN hotel tempat kami menginap yg lokasinya masih searea dengan pelabuhan. Rencananya ingin mendaftar (check in.red), supaya bisa meletakkan barang2 di kamar dan berangkat ke lokasi training tanpa perlu membawa beban.

Ternyata peraturan hotel menyebutkan bahwa check in hanya boleh dilakukan setelah jam 14.00 waktu Johor, sedangkan saat itu waktu baru sampai di jam 11.30 waktu Johor. setelah melakukan pengeroyokan dan diberondong segudang pertanyaan dan keluhan, akhirnya resepsionisnya mengaku bahwa semua kamar terisi penuh dan kamar yg akan kami tempati masih ada penghuninya dan baru akan keluar (check out.red) jam 12.00 waktu setempat. Terpaksa dengan berat hati dan berat beban juga :-), kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi training yg bejarak sekitar 30 menit dari hotel. Beberapa teman yg membawa banyak beban menitipkan sebagian bebannya ke resepsionis hotel, sebagai tanda jadi..qe...qe..qe...


Terlalu antusias melihat keadaan sekitar Johor Bahru, sehingga perjalanan sekitar 30 menit menuju ke lokasi training di Pasir Gudang menjadi tak terasa . Hal yg pertama dilakukan adalah mencari resepsionis dari penyelenggara training bukan semata karena ingin segera mengikuti materinya tetapi lebih karena ingin bertanya bagaimana status makan siang kami, karena setelah ditolak oleh hotel dan mengalami perdebatan panjang dan melelahkan, efeknya kepala langsung pusing, pandangan kabur akibat dari hilangnya kesempatan untuk bersantap siang di hotel..qe..qe...qe...

Setelah melakukan pendataan di resepsionis, tibalah saatnya kami memasuki ruangan kelas utk mendapatkan informasi tentang seluruh modul training dan juga tak lupa perkenalan. Berhubung karena saat itu penyelenggara training sedang banyak peserta dan juga keterbatasan peralatan maka jadwal kami disesuaikan dengan ketersediaan peralatan saat itu. Akhirnya kami harus menjalani modul HUET (theory dan practical ) di hari pertama kami. Selanjutnya hanya gambar inilah yg bisa kusampaikan sebagai penjelasan dari penyiksaan eehhh training kami...